Terlalu Dekat untuk Sekadar Saudara
---
[PENGANTAR]
Kami dilahirkan di hari yang sama, jam yang berbeda. Aku lebih dulu datang ke dunia, dan dia menyusul tujuh menit kemudian. Dari kecil, orang-orang menyebut kami kembar yang tak terpisahkan. Kemana aku pergi, dia mengikuti. Saat aku menangis, dia yang menenangkan. Saat dia sakit, aku yang panik.
Dulu, itu hanya dianggap manis.
Sekarang, aku bahkan tak berani menyebut namanya tanpa jantungku berdegup terlalu kencang.
---
[BAGIAN 1 – RUMAH KECIL DI UJUNG JALAN SEPI]
Kami tumbuh di rumah sederhana dengan pagar kayu putih yang catnya mulai mengelupas. Ibu sering berkata kami seperti dua sisi cermin—selalu saling mencerminkan, tapi tidak pernah benar-benar bersatu.
Semenjak kecil, kami selalu berbagi segalanya: mainan, kamar tidur, bahkan ketakutan. Tapi tak seorang pun pernah mengira bahwa di balik keintiman itu, perlahan tumbuh sesuatu yang lebih dari sekadar kasih sayang antar saudara.
Saat usiaku menginjak lima belas tahun, dan tubuh kami mulai berubah, semuanya terasa berbeda. Aku mulai menyadari bagaimana matanya memandangku di balik cermin. Bukan sebagai saudara, tapi seperti seseorang yang menatap seseorang lain… dengan sesuatu yang lebih.
Dan sialnya, aku juga merasakannya.
---
[BAGIAN 2 – MUSIM HUJAN DAN RAHASIA]
Kami tak pernah membicarakan apa pun. Tapi malam-malam musim hujan itu, saat suara rintik hujan menari di atap seng, kamarku menjadi terlalu kecil untuk dua orang dengan jantung yang berdegup terlalu kencang.
Satu malam, lampu mati. Dan hanya ada suara napas kami.
"Kalau kamu bukan saudaraku," bisiknya pelan, "apa kamu masih akan tetap tinggal di rumah ini?"
Aku tak menjawab. Karena jawabanku akan menyakitinya.
Atau mungkin menyakitiku sendiri.
---
[BAGIAN 3 – JARAK YANG DICIPTAKAN DENGAN PAKSA]
Saat SMA, kami pura-pura jadi seperti anak-anak normal. Kami menjauh, tidak saling duduk berdampingan lagi, tidak saling menunggu pulang sekolah. Aku mencoba menyukai orang lain. Dia juga.
Tapi entah kenapa, dunia luar terasa terlalu jauh, terlalu palsu.
Di rumah, kami kembali menjadi dua titik yang saling menarik dalam diam. Saat orang tua kami sibuk dengan dunia mereka, kami hanya duduk berdua di sofa ruang tengah, menonton film tanpa saling bicara. Tapi udara di antara kami selalu padat dengan sesuatu yang tak terucapkan.
Aku tahu, suatu hari, semuanya akan meledak.
---
[BAGIAN 4 – PERPISAHAN PERTAMA]
Setelah lulus SMA, aku diterima di universitas di kota lain. Tanpa banyak bicara, aku mengepak barang. Ia tak berkata sepatah kata pun saat mengantarku ke stasiun. Tapi ketika kereta mulai berjalan, aku melihat matanya mulai basah. Tak pernah sebelumnya aku melihat dia menangis.
Aku tidak menangis hari itu.
Tapi malamnya, di kamar kosku yang sempit, aku menulis surat untuknya.
Surat yang tak pernah kukirim.
---
[BAGIAN 5 – DUNIA TANPAMU TERASA TUMPUL]
Selama empat tahun, kami hanya sesekali bertukar kabar. Lewat ibu, lewat grup keluarga. Tapi tidak pernah langsung. Tak pernah menanyakan kabar hati, hanya kuliah, kerja, kesehatan.
Sampai satu hari, ibu meneleponku. "Kakakmu… dia kecelakaan kecil. Nggak parah, cuma jatuh motor."
Aku pulang.
Dan ketika melihatnya duduk di sofa, kaki digips, senyumnya sama seperti dulu. Tapi matanya berubah. Lebih dewasa. Lebih gelap.
"Sudah kubilang, kamu nggak perlu pulang," katanya, tanpa menatapku.
Aku duduk di sampingnya.
Dan untuk pertama kali dalam bertahun-tahun, aku meraih tangannya.
---
[BAGIAN 6 – KAMAR YANG TETAP SAMA, TAPI TIDAK KAMI]
Malam itu, aku menginap di kamar lamaku. Tempat yang dulu jadi saksi begitu banyak kebisuan. Saat lampu dipadamkan, aku mendengar langkahnya dari luar. Ia berdiri di ambang pintu, seperti dulu.
"Aku kangen kamu," katanya.
Aku menoleh. Matanya berkaca-kaca.
Aku ingin mengatakan hal yang sama. Tapi lidahku kelu.
---
[BAGIAN 7 – KITA TAK PERNAH MEMILIH DILAHIRKAN BERSAMA]
"Apa kamu pernah merasa kita seharusnya… bukan saudara?" tanyanya suatu malam, saat kami duduk di tangga belakang rumah, memandangi langit.
Aku mengangguk pelan.
"Tapi kita adalah saudara," jawabku.
"Iya," katanya. "Dan itu yang paling menyakitkan."
---
[BAGIAN 8 – ORANG KETIGA]
Beberapa bulan kemudian, dia mengenalkan seseorang padaku. Perempuan cantik, ramah, dan pintar. Aku menyukai gadis itu. Tapi saat mereka bergandengan tangan, aku merasa perih yang tak bisa dijelaskan.
Malamnya, aku menulis lagi. Di buku harian yang sudah penuh dengan namanya.
"Aku harus belajar melepaskan. Karena dunia tidak akan pernah menerima."
---
[BAGIAN 9 – PERNIKAHAN]
Dua tahun kemudian, dia menikah.
Aku hadir, duduk di barisan depan, dan melihatnya mengucap janji pada orang lain.
Ketika semua orang tersenyum, aku hanya bisa diam.
Hari itu, aku menghapus semua surat yang kutulis untuknya.
---
[BAGIAN 10 – AKU MASIH DI SINI, DI RUMAH YANG TAK PERNAH BERUBAH]
Beberapa tahun berlalu.
Kami jarang bertemu. Tapi setiap kali aku kembali ke rumah lama itu, kenangan menyergap.
Tangga belakang. Sofa ruang tengah. Lampu kamar yang redup.
Semua menyimpan suara yang tak pernah kami ucapkan.
Dan saat malam turun, aku duduk di meja kerja lamaku.
Menulis satu kalimat:
> “Aku mencintaimu, tapi dunia tak pernah mengizinkan.”
---
[PENUTUP – NARASI TERAKHIR]
Hubungan kami bukan cinta yang indah seperti di novel. Bukan juga tragedi yang layak ditangisi orang banyak. Tapi hubungan kami adalah bentuk paling sunyi dari rasa: terlalu dalam untuk dibicarakan, terlalu dekat untuk dijauhkan, dan terlalu salah untuk dibiarkan tumbuh.
Dan aku… akan mencintainya dari jauh.
Dari balik kata-kata. Dari balik diam.
---