Rahasia di Balik Foto Usang
---
[PENGANTAR]
Di loteng rumah tua itu, di balik tumpukan kardus dan debu, aku menemukan sebuah foto. Tua, agak pudar, dan sedikit sobek di ujungnya. Tapi tak butuh waktu lama untuk mengenali wajah-wajah di sana: aku, dia, dan dunia kecil yang dulu begitu kita yakini akan bertahan selamanya.
Aku mengira semua sudah usai. Tapi foto itu membangunkan kembali sesuatu yang selama ini kupaksa tidur.
---
[BAGIAN 1 – LOTENG DAN KENANGAN]
Aku kembali ke rumah setelah lima tahun pergi. Rumah itu kosong sejak ibu meninggal. Aku pulang hanya untuk berkemas, menjual, dan menutup halaman hidup yang terlalu banyak menyisakan luka.
Saat membersihkan loteng, aku menemukan kotak tua milik ayah. Di dalamnya ada buku catatan, beberapa surat tak terkirim, dan… foto itu.
Aku tak tahu kenapa jantungku langsung berdetak lebih cepat.
Di foto itu, aku berdiri di sampingnya. Dia memelukku dari belakang, dan senyumnya—entah kenapa—terlihat sangat tulus. Tapi di mata kami… ada sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh dua orang yang menyimpan rahasia yang sama.
---
[BAGIAN 2 – FLASHBACK: RUMAH DAN MUSIM PANAS ITU]
Musim panas saat kami berumur dua belas adalah saat dunia terasa aman. Kami membangun rumah-rumahan dari selimut, menamai pohon di belakang rumah, dan berbagi mimpi yang sama: tinggal di rumah ini selamanya.
Ibu dan Ayah sibuk dengan urusan mereka. Kami dibesarkan dengan banyak waktu kosong, terlalu banyak ruang untuk membentuk ikatan yang melampaui batas.
Kami menciptakan dunia kecil kami sendiri, dengan aturan kami sendiri.
---
[BAGIAN 3 – SAAT SEMUA MULAI BERUBAH]
Masa puber mengubah segalanya. Suatu malam, saat kami menonton film lama bersama, lengannya tak sengaja menyentuh tanganku. Dan tak seperti biasanya, aku tak menariknya pergi.
Sejak malam itu, aku mulai menghindarinya. Tapi dia tidak.
Ia justru mulai lebih sering memandangku lama-lama. Tidak pernah mengatakan apa-apa. Tapi diamnya seperti suara keras yang hanya aku bisa dengar.
---
[BAGIAN 4 – SURAT TANPA ALAMAT]
Di kotak yang sama tempat aku menemukan foto itu, aku juga menemukan surat. Isinya ditulis dengan pulpen hitam, hurufnya rapi dan kaku. Tertulis: “Untuk dia yang selalu ada di pikiranku.”
Aku tahu itu ditulis olehnya.
Surat itu bukan pengakuan cinta. Tapi lebih seperti… pengakuan luka. Ia bicara tentang malam-malam sepi, tentang rasa bersalah, tentang bagaimana ia ingin melepaskan semua, tapi tak pernah bisa.
Aku membacanya berkali-kali.
Dan setiap kali, rasanya seperti ditampar masa lalu yang kutinggalkan begitu saja.
---
[BAGIAN 5 – AKU MENGHUBUNGINYA LAGI]
Setelah menemukan foto dan surat itu, aku memberanikan diri menghubunginya. Nomornya masih sama. Suaranya… juga.
“Kamu masih di kota ini?” tanyaku.
“Masih,” jawabnya pelan. “Aku dengar kamu pulang. Mau ketemu?”
Aku nyaris bilang tidak. Tapi otakku kalah cepat dari hatiku.
---
[BAGIAN 6 – PERTEMUAN YANG TERLALU SUNYI]
Kami bertemu di kafe kecil dekat taman. Ia lebih dewasa, lebih tenang. Tapi matanya… masih sama. Mata yang dulu menatapku lebih dari sekadar saudara.
Kami duduk, saling bertanya basa-basi. Tapi tak satu pun dari kami berani membahas masa lalu.
Sampai akhirnya aku mengeluarkan foto itu.
"Aku menemukannya di loteng," kataku.
Ia menatapnya lama. "Aku pikir foto itu sudah hilang."
"Kenapa kamu menyimpannya?"
"Karena di situ, kita masih jadi kita."
---
[BAGIAN 7 – LUKA YANG BELUM TERTUTUP]
Kami pulang bersama malam itu. Tidak saling menyentuh. Tidak saling bicara. Tapi langkah kami selaras, seperti dulu.
Di beranda rumah, ia akhirnya bicara.
“Aku masih sering mimpi tentang hari itu.”
“Yang mana?”
“Hari saat kamu pergi tanpa pamit.”
Aku menunduk. “Aku takut.”
“Begitu juga aku.”
---
[BAGIAN 8 – KITA TIDAK AKAN PERNAH BISA LARI]
Setiap kali aku mencoba menjauh, dunia justru membawanya kembali. Kami bisa berpura-pura menjadi dua orang normal. Tapi saat malam tiba, pikiranku tetap kembali padanya.
Dan sekarang aku tahu: dia juga begitu.
Kami tak pernah memilih perasaan ini. Tapi kami juga tak bisa menguburnya.
---
[BAGIAN 9 – KAMU SUDAH BERUBAH, TAPI RASAMU TIDAK]
Ia sudah bertunangan sekarang. Dengan perempuan baik, yang mencintainya.
Aku tahu tempatku. Aku tak pernah ingin menghancurkan apa pun.
Tapi kenyataan tak selalu sederhana. Karena bahkan saat dia berjalan di lorong menuju orang lain, matanya tetap mencariku di antara tamu.
Dan aku pura-pura tak melihat.
---
[BAGIAN 10 – RAHASIA YANG TIDAK AKAN KUBUKA LAGI]
Setelah semua selesai, aku kembali ke kota tempat aku bekerja. Foto itu kubawa bersamaku. Surat itu, kutaruh dalam laci meja.
Aku tak akan menghubunginya lagi.
Aku tak akan mengganggunya.
Tapi setiap kali aku merasa hampa, aku buka foto itu.
Dan mengingat bahwa di satu masa dalam hidupku, aku pernah dicintai dengan cara yang dunia tak akan pernah mengerti.
---
[EPILOG – NARASI TERAKHIR]
Ada cinta yang bisa dipamerkan.
Ada cinta yang bisa diceritakan.
Tapi ada pula cinta yang hanya bisa dikenang—dalam bentuk foto usang, surat tak terkirim, dan luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aku dan dia, adalah cinta yang seperti itu.
Dan mungkin, itu cukup.
---