Aku dan Dia, Dalam Sunyi yang Tak Pernah Tuntas
---
[PENGANTAR]
Kami adalah dua kutub yang terlalu saling mengerti untuk bicara, dan terlalu saling mencintai untuk menyapa. Tidak ada yang tahu betapa dalam sunyi kami menyimpan rasa. Kami adalah cerita yang tidak pernah benar-benar dimulai, tapi juga tak pernah bisa selesai.
---
[BAGIAN 1 – KELAHIRAN DALAM DIAM]
Kami lahir di kota kecil yang tenang, jauh dari bising dunia. Rumah kami berdiri di ujung jalan dengan halaman dipenuhi pohon jambu dan suara jangkrik saat malam. Dari kecil, kami tidak banyak bicara. Tapi kami selalu tahu isi pikiran satu sama lain.
Saat aku menangis, dia datang. Saat dia demam, aku selalu bisa merasakannya bahkan sebelum orang lain menyadarinya. Kami seperti memiliki bahasa rahasia, bahasa yang tidak pernah membutuhkan kata-kata.
---
[BAGIAN 2 – MENGHINDAR DARI DIRI SENDIRI]
Ketika kami beranjak remaja, sesuatu berubah. Tiba-tiba, aku menjadi gugup berada di dekatnya. Tatapannya yang dulu seperti rumah kini terasa menelanjangiku. Aku mulai menghindarinya, berpura-pura sibuk, pura-pura lelah.
Dia tidak bertanya. Tapi aku tahu dia tahu.
Kami duduk di ruang tamu yang sama, makan di meja yang sama, tapi kami mulai menjauh seperti dua benua yang terpisah perlahan. Dunia kami tetap berdekatan, tapi hati kami semakin sunyi.
---
[BAGIAN 3 – SUNYI YANG BERTAHAN TAHUNAN]
Aku pindah ke kota lain saat kuliah. Ia tetap tinggal. Kami berhenti mengirim kabar. Kami saling menonton dari kejauhan lewat media sosial yang hambar. Kadang, dia menyukai unggahanku, lalu menghapusnya lagi dalam hitungan menit.
Aku tahu itu. Aku juga begitu.
Sunyi kami jadi jembatan yang membentang, tapi tak pernah bisa dilalui. Dan tiap malam, aku menulis diary yang tak pernah kubaca ulang.
---
[BAGIAN 4 – JIKA SAJA SEMUA BERBEDA]
Terkadang aku bertanya-tanya, bagaimana jika kami bukan saudara? Bagaimana jika kami bertemu sebagai orang asing di stasiun atau perpustakaan? Akankah dia menghampiriku lebih dulu? Akankah aku bisa mencintainya tanpa rasa bersalah?
Tapi semua pertanyaan itu hanya menggantung di udara. Tak ada jawaban. Karena kenyataannya, kami adalah darah yang sama. Dan cinta dalam bentuk itu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa dipahami orang lain.
---
[BAGIAN 5 – SURAT DI BAWAH BANTAL]
Suatu malam, aku kembali ke rumah untuk menghadiri pemakaman kakek kami. Setelah upacara selesai, aku tidur di kamar lama. Dan di bawah bantal lamaku, aku menemukan secarik kertas. Tulisan tangannya—huruf miring khasnya, tergesa.
> “Aku tahu kamu masih memikirkan semua ini. Aku juga. Tapi jangan kembali jika hanya membawa luka.”
Aku tak pernah tahu kapan surat itu ditaruh. Tapi aku menangis malam itu. Bukan karena duka. Tapi karena masih ada seseorang di dunia ini yang tahu persis isi hatiku.
---
[BAGIAN 6 – DIA YANG SELALU TAHU]
Keesokan harinya, kami bertemu di dapur. Dia membuat teh, aku menyeduh kopi. Kami duduk di meja kayu yang dulu menjadi tempat kami berebut camilan.
“Masih suka manis?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk.
“Masih suka diam-diam nulis puisi?”
Aku tertawa kecil. “Kamu juga masih suka nyembunyiin surat?”
Ia tak menjawab. Tapi senyumnya cukup.
---
[BAGIAN 7 – TAKDIR YANG TAK BISA DIBANTAH]
Kami berbicara malam itu, lama. Tentang masa kecil. Tentang bagaimana semuanya berubah saat kami mulai tumbuh. Tentang rasa takut. Tentang penyangkalan.
“Kita terlalu banyak menahan,” katanya. “Terlalu lama membiarkan sunyi mengisi ruang.”
Aku mengangguk. “Dan terlalu takut pada apa yang mungkin terjadi kalau kita bicara.”
---
[BAGIAN 8 – MENCINTAI DALAM JARAK]
Dia sudah bertunangan sekarang. Dan aku tahu, saat dia menikah nanti, aku akan duduk di kursi depan, tersenyum, dan pura-pura bahagia. Aku akan memeluknya seolah semuanya baik-baik saja.
Dan malam itu, aku akan kembali menulis.
Bukan lagi untuknya. Tapi untuk cinta yang tak pernah bisa bersuara.
---
[BAGIAN 9 – PERGI TANPA BENAR-BENAR PERGI]
Setelah beberapa hari, aku pamit kembali ke kota tempat aku tinggal. Ia mengantarku sampai halaman. Kami berdiri canggung, seperti dua orang asing yang pernah terlalu dekat.
“Kalau kamu pulang lagi, jangan masuk lewat pintu belakang,” katanya.
“Kenapa?”
“Karena aku nggak mau kamu masuk diam-diam lagi di hidupku.”
---
[BAGIAN 10 – SUNYI YANG TAK AKAN PERNAH BERAKHIR]
Kini, bertahun-tahun telah berlalu. Kami jarang bicara. Tapi aku tahu, setiap kali ia mendengar puisi di radio, atau melihat pohon jambu di halaman rumah, ia akan teringat padaku.
Sama seperti aku yang selalu ingat dia setiap hujan datang, atau ketika sunyi malam terasa terlalu dalam untuk diabaikan.
Kami mungkin bukan sepasang kekasih.
Tapi kami juga bukan hanya saudara.
Kami adalah sepasang jiwa yang saling menemukan, tapi tak pernah benar-benar bisa bersatu.
---
[EPILOG – NARASI TERAKHIR]
Ada cinta yang meledak dalam gairah.
Ada cinta yang runtuh dalam konflik.
Tapi cinta kami adalah cinta yang tetap utuh, karena ia tidak pernah sempat retak.
Cinta yang tumbuh di antara diam dan jeda,
dan bertahan dalam sunyi yang tak pernah tuntas.
---