Bukan Cinta, Tapi Juga Bukan Sekadar Kasih Sayang
---
[PENGANTAR]
Orang selalu membicarakan cinta atau kasih sayang seolah keduanya bisa dipisahkan dengan garis yang tegas. Tapi dalam kisah kami, tidak ada garis. Hanya kabut yang menutupi batas, dan dua hati yang berjalan terlalu jauh di dalamnya. Kami tidak saling mencintai. Tapi kami juga tidak hanya saling menyayangi.
Dan yang paling menyakitkan adalah: tidak ada kata untuk menyebut apa ini sebenarnya.
---
[BAGIAN 1 – NAMA YANG SELALU DI SAMPINGKU]
Sejak kecil, namanya selalu disebut bersamaku. Seperti satu paket. Aku dan dia. Tidak pernah satu tanpa yang lain. Guru-guru di sekolah menyebut kami sebagai "kembar yang paling tenang." Padahal, kami bukan kembar. Hanya lahir berdekatan. Tapi waktu membuat kami tumbuh seperti dua pohon yang akarnya saling melilit.
Tidak ada satu pun yang menyadari bahwa dari kecil, kami belajar terlalu banyak tentang satu sama lain.
Terlalu cepat.
---
[BAGIAN 2 – RASA YANG TIDAK PERNAH DIAJARKAN]
Kami tahu bagaimana cara membuat satu sama lain tertawa. Kami tahu kapan harus berhenti bicara saat salah satu mulai murung. Tapi yang tidak pernah diajarkan kepada kami adalah apa yang harus dilakukan ketika tatapan itu mulai terasa aneh. Ketika pelukan tak lagi terasa seperti pelukan keluarga.
Kami tidak tahu harus berkata apa. Maka kami diam.
Dan dalam diam itu, rasa tumbuh. Bukan cinta. Tapi juga bukan sekadar kasih sayang.
---
[BAGIAN 3 – PELARIAN YANG GAGAL]
Aku mencoba menyukai orang lain. Ia juga. Tapi setiap hubungan kami gagal, bukan karena mereka buruk. Tapi karena mereka bukan dia. Orang lain bisa mengerti, tapi tidak bisa memahami. Orang lain bisa mendengar, tapi tidak bisa membaca pikiranku seperti dia.
Hubungan kami bukan romansa.
Tapi jauh lebih kuat dari itu.
Dan di situlah letak masalahnya.
---
[BAGIAN 4 – DUNIA DI LUAR KITA]
Dunia tidak mengerti. Mereka hanya melihat kami sebagai dua saudara yang terlalu dekat. Ada yang mulai bergosip, tapi kami tidak pernah memberi mereka bukti apa pun.
Kami bahkan tidak pernah saling menyentuh lebih dari sewajarnya.
Tapi tetap saja, dunia bisa mencium sesuatu yang kami sembunyikan.
Maka kami makin diam.
Makin menarik diri.
---
[BAGIAN 5 – KETIKA SEMUA TERLAMBAT]
Suatu hari, ia pulang membawa kabar. Ia diterima kerja di luar negeri. Aku senang—seharusnya. Tapi dadaku sesak. Karena untuk pertama kalinya, jarak itu akan benar-benar ada. Fisik, bukan hanya emosional.
"Aku akan pergi secepatnya," katanya.
Aku hanya mengangguk.
Tidak menahannya. Tidak mengucapkan selamat.
Hanya menunduk.
---
[BAGIAN 6 – SATU MALAM SEBELUM PERGI]
Malam sebelum ia berangkat, kami duduk berdua di beranda rumah, seperti biasa. Tidak bicara. Hanya mendengarkan suara malam dan serangga yang saling bersahutan.
"Aku takut," katanya tiba-tiba.
"Tentang apa?"
"Kalau pergi, aku akan melupakanmu."
Aku menoleh padanya. "Kamu nggak akan lupa."
Dia menatapku. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, aku berpikir dia akan menciumku.
Tapi tidak.
Dia hanya tersenyum, lalu pergi ke kamarnya.
Dan malam itu aku menangis, tanpa suara.
---
[BAGIAN 7 – WAKTU BERJALAN, TAPI RASA TERTINGGAL]
Selama beberapa tahun, kami hanya bertukar kabar lewat email dan pesan singkat. Kadang dia mengirim foto tempat-tempat yang ia kunjungi. Aku membalas dengan potret langit di atas rumah kami.
Tapi makin lama, pesannya makin jarang.
Dan aku makin sering menatap layar kosong.
Mencari namanya yang tidak pernah muncul lagi.
---
[BAGIAN 8 – KEMBALI, TAPI BERUBAH]
Tujuh tahun berlalu. Ia kembali. Lebih dewasa, lebih pendiam, dan kini ia menggandeng tangan seseorang—seorang perempuan yang cantik dan anggun.
Aku menyambutnya dengan senyum palsu.
Dan saat dia memelukku, pelukannya terasa seperti milik orang asing.
---
[BAGIAN 9 – PENGAKUAN YANG TERLAMBAT]
Malam itu, kami duduk berdua di dapur, seperti dulu. Ia menatapku lama, lalu berkata:
"Aku pernah mencintaimu, kamu tahu itu?"
Aku tidak menjawab.
"Aku tidak tahu itu cinta atau bukan. Tapi rasanya begitu."
Aku menatap meja.
"Aku juga pernah."
Dia tertawa pelan. "Terlalu rumit ya?"
Aku mengangguk. "Dan terlalu telat."
---
[BAGIAN 10 – DAN HIDUP TERUS BERJALAN]
Hari pernikahannya tiba. Aku datang, berdiri di antara tamu-tamu yang tidak kukenal. Ia berdiri di altar, tampak bahagia. Dan aku, di barisan belakang, hanya bisa mengucapkan doa dalam hati.
> “Semoga kamu bahagia, meski aku tak pernah benar-benar tahu cara melepaskanmu.”
---
[EPILOG – NARASI TERAKHIR]
Kami tidak pernah saling mencintai seperti yang dunia definisikan.
Kami tidak pernah menjadi kekasih.
Tapi hubungan kami bukanlah sekadar kasih sayang saudara.
Kami adalah dua jiwa yang pernah begitu dekat,
hingga batas-batas tak lagi terlihat.
Dan ketika dunia meminta kami mundur,
kami memilih untuk diam.
Karena tak semua yang indah harus diperjuangkan.
Dan tak semua yang sakit harus dilawan.
Kadang, yang terbaik adalah… membiarkannya tetap tak bernama.
---