Satu Nama, Dua Luka
---
[PENGANTAR]
Namamu adalah puisi pertama yang kuhafal tanpa pernah sengaja. Tapi setiap kali nama itu disebut orang, hatiku teriris diam-diam. Karena di balik satu nama yang kita bagi sejak lahir—ada dua luka yang kita simpan di tempat yang berbeda.
Kita tumbuh bersama, tapi tidak tumbuh sejalan. Kita pernah saling mencari, tapi juga pernah saling menghindari. Dan ketika akhirnya nama kita tak lagi disebut dalam satu kalimat, aku tahu: ada luka yang tak bisa sembuh tanpa saling menatap dan berkata, "Aku juga sakit."
---
[BAGIAN 1 – NAMA YANG MENYATUKAN]
Dulu, orang-orang selalu menyebut kita berdua sebagai satu kesatuan. Kita masuk daftar yang sama. Dipanggil bersamaan. Dipakaikan baju kembar. Dan semua orang senang melihat "duet" kita.
"Lihat mereka, rukun sekali ya."
Tapi mereka tidak tahu, betapa kita diam-diam menyimpan perasaan yang bahkan tak bisa kita pahami sendiri. Perasaan yang tumbuh di balik senyum pura-pura polos.
---
[BAGIAN 2 – RASA TAK PUNYA TEMPAT]
Ketika aku mulai sadar bahwa aku tidak bisa bersikap "biasa" terhadapmu, aku bingung. Aku mencoba mencari jawaban: apakah ini cinta? Atau obsesi? Atau trauma?
Aku tak tahu.
Yang aku tahu, aku tak bisa tenang saat kamu terlalu dekat—dan terlalu jauh pun menyakitkan.
Aku seperti terperangkap dalam ruang sempit bernama "harusnya tidak seperti ini."
---
[BAGIAN 3 – KITA MULAI SALING LUKAI]
Entah siapa yang memulai, tapi kita perlahan berubah jadi dua orang asing. Setiap kalimat menjadi senjata. Setiap gestur menjadi perlawanan. Kita saling menyakiti tanpa kata kasar—cukup dengan diam yang menggantung.
Dan yang paling menyakitkan dari semua ini adalah: kita tahu kita sama-sama terluka, tapi tak satu pun dari kita mau mengaku.
---
[BAGIAN 4 – SATU RUMAH, DUA DUNIA]
Pernah suatu malam, aku melihatmu tertidur di sofa. Napasmu tenang. Tapi wajahmu menyimpan kelelahan yang tak biasa. Aku ingin mendekat. Menyelimuti. Mencium dahimu.
Tapi aku hanya berdiri.
Dan berbalik masuk kamar.
Karena aku takut—takut kalau rasa ini keluar dari tempatnya, tak akan bisa kembali.
---
[BAGIAN 5 – NAMA YANG BERUBAH DI MULUT ORANG]
Ketika kamu mulai dekat dengan seseorang, nama kita tidak lagi disebut bersamaan. Aku jadi hanya bayangan yang samar di belakangmu. Kamu bersinar. Aku memudar.
Aku bukan siapa-siapa lagi. Hanya bagian dari masa lalu yang kamu tutup rapat-rapat.
Dan ketika orang memanggilmu tanpa menyebutku, aku tahu: kamu sudah memilih untuk sembuh, walau tanpa pamit.
---
[BAGIAN 6 – LUKA YANG TAK PERLU DIBICARAKAN]
Kita bertemu lagi di pemakaman Nenek. Banyak yang datang. Banyak yang bersedih. Tapi kita hanya berdiri berseberangan. Tak ada pelukan. Tak ada sapaan hangat. Hanya anggukan kecil.
Dan aku ingin menangis, bukan karena kehilangan Nenek—tapi karena ternyata kita lebih asing dari yang kupikirkan.
---
[BAGIAN 7 – PERCAYA BAHWA SEMUA BAIK-BAIK SAJA]
Aku pernah mencoba berpikir positif.
Mungkin kamu memang baik-baik saja tanpaku. Mungkin aku hanya terlalu sentimentil. Tapi saat aku melihat kamu menatap langit dari balkon rumah yang dulu jadi tempat kita berbagi cerita, aku tahu: kamu juga masih mengingat semua.
Kita hanya terlalu keras kepala untuk saling bicara.
---
[BAGIAN 8 – SURAT TERBUKA YANG TAK PERNAH KUKIRIM]
> "Untuk kamu yang berbagi nama denganku,
Aku minta maaf karena pernah jatuh cinta padamu."
> "Aku tahu itu salah. Aku tahu itu aneh. Tapi aku juga tahu, kamu pernah merasa hal yang sama."
> "Bukan untuk disalahkan. Bukan untuk diperdebatkan.
Tapi cukup diakui… agar lukanya bisa perlahan sembuh."
> "Jika suatu hari kita bisa duduk bersama dan membicarakan ini seperti dua orang dewasa,
Aku akan bilang: aku tidak menyesal pernah mencintaimu. Yang kusesali hanyalah: kita berhenti bicara."
---
[BAGIAN 9 – KAMU DAN AKU, DI DUA HALAMAN YANG BERBEDA]
Kini, kamu hidup dalam dunia yang tak lagi kutahu. Aku pun memilih hidupku sendiri. Tapi di malam-malam yang lengang, aku masih teringat nama itu—namamu.
Nama yang dulu disebut bersamaku.
Nama yang sekarang hanya menyisakan gema dalam kenangan.
---
[BAGIAN 10 – JIKA SUATU HARI NAMA KITA DISEBUT LAGI]
Jika nanti orang-orang kembali menyebut nama kita bersamaan, mungkin itu hanya dalam cerita.
Cerita tentang dua anak yang pernah tumbuh bersama.
Yang pernah saling menyayangi melebihi yang seharusnya.
Dan yang akhirnya memilih diam... karena tahu dunia tidak akan pernah mengerti.
---
[EPILOG – NARASI TERAKHIR]
Satu nama pernah menyatukan kita.
Tapi dua luka memisahkan jalan kita.
Kita tidak harus kembali.
Kita tidak perlu memulai lagi.
Tapi semoga, di waktu yang tepat,
kita bisa saling menatap dan berkata:
> "Kita pernah saling menyakiti…
dan kita juga pernah saling jadi tempat pulang."
---