Surat yang Tak Pernah Kukirimkan Padamu
---
[PENGANTAR]
Dalam hidup ini, kita sering kali menulis surat bukan untuk dibaca, tapi untuk melampiaskan. Sebagian dikirim, sebagian dibakar. Tapi ada satu surat yang terus kutulis, dan tak pernah berani kukirimkan padamu. Surat yang isinya bukan sekadar kata, melainkan perasaan yang tak berani hidup di dunia nyata.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini kisah tentang kalimat-kalimat yang seharusnya tak pernah ada—karena terlalu jujur, terlalu gelap, dan terlalu… kita.
---
[BAGIAN 1 – HALAMAN PERTAMA]
> Untukmu, yang selalu kuhindari tapi tak pernah bisa kulupakan.
Aku masih mengingat wajahmu pagi itu, saat kita berpamitan seperti dua orang asing. Tak ada pelukan, tak ada ucapan “jaga diri”, hanya pandangan sekilas dan suara pintu yang menutup pelan.
Padahal dalam dadaku, banyak kata yang ingin kuteriakkan. Tapi semuanya kutahan. Karena kamu… adalah kamu.
Dan aku… adalah seseorang yang tak seharusnya mencintaimu seperti ini.
---
[BAGIAN 2 – KENANGAN DI SUDUT MEJA BELAJAR]
Kamar kita masih sama. Dua meja belajar, dua tempat tidur, dua kursi. Tapi hanya satu dunia yang kita bagi. Dunia diam. Dunia penuh desah napas tertahan dan tatapan yang cepat dialihkan.
Aku sering bangun di tengah malam hanya untuk menatap punggungmu dari tempat tidurku.
Pernah suatu malam, kamu berbalik dan bertanya, “Kenapa nggak tidur?”
Aku menjawab, “Lagi mikir tugas.”
Padahal sebenarnya aku sedang memikirkanmu.
---
[BAGIAN 3 – AKU MENYEMBUNYIKAN SURAT INI DI LACI TERDALAM]
Setiap kali aku merasa terlalu sesak, aku menulis surat ini. Kadang panjang, kadang hanya satu kalimat.
> "Aku kangen kamu, tapi aku benci diriku karena itu."
Surat-surat itu tak pernah kulipat rapi. Hanya kugulung dan kuselipkan di antara kertas tak berguna. Karena aku tahu, jika kamu membacanya, dunia kita akan retak.
Dan aku terlalu pengecut untuk merusak apa pun.
---
[BAGIAN 4 – SAAT KAMU JATUH CINTA]
Hari kamu mengenalkan kekasih pertamamu padaku, aku pura-pura sibuk dengan ponsel. Kamu tertawa, memeluknya di hadapanku. Dan aku… hanya duduk sambil menahan muntah rasa di dada.
> "Ternyata, melihatmu bahagia pun bisa menyakitkan."
Itu hari pertama aku menulis surat sepanjang dua halaman.
Dan masih belum kukirim.
---
[BAGIAN 5 – AKU HAMPIR MENGAKUI]
Aku pernah hampir mengatakannya. Saat kamu menangis karena ditolak beasiswa impianmu. Aku ingin memelukmu, mengatakan betapa kamu berharga—bukan karena nilaimu, tapi karena kamu adalah kamu.
Aku ingin mencium dahimu.
Tapi aku hanya memberimu teh hangat, dan bilang, “Kamu pasti bisa lain kali.”
Dan kamu mengangguk, tersenyum kecil, tanpa tahu bahwa di balik senyumku, ada badai yang ingin kubiarkan pecah.
---
[BAGIAN 6 – KITA TIDAK PERNAH MEMILIH PERAN]
Orang sering berkata: "Kamu harus tahu batas."
Tapi bagaimana jika batas itu tidak pernah jelas?
Bagaimana jika kita tumbuh terlalu dekat?
Bagaimana jika dunia memberi kita peran, tapi hati kita menolak bermain sesuai naskah?
Aku tidak pernah memilih jadi saudaramu.
Tapi aku juga tak bisa memilih untuk berhenti mencintaimu.
---
[BAGIAN 7 – PELUKAN TERAKHIR]
Waktu kamu lulus dan akan pindah ke luar negeri, kamu memelukku erat.
"Jangan berubah ya," katamu.
Dan aku ingin menjawab, “Aku ingin berubah, tapi rasaku ke kamu tetap keras kepala.”
Tapi yang keluar hanya, “Kamu juga.”
Pelukan itu hangat. Tapi saat kamu pergi, dingin mengisi setiap sudut rumah.
---
[BAGIAN 8 – TAHUN-TAHUN TANPA BERITA]
Kamu tak lagi menghubungi. Aku juga tidak. Tapi setiap kali aku melihat foto kita waktu kecil, rasanya seperti diriku yang dulu berdiri menertawakanku sekarang.
"Kenapa kamu nggak bilang apa-apa dulu?"
Karena aku pengecut.
Karena aku lebih memilih menyimpan surat ini daripada menghancurkanmu dengan kejujuran.
---
[BAGIAN 9 – SAAT KAMU MENIKAH]
Undangan pernikahanmu datang. Aku membacanya tiga kali sebelum percaya itu benar. Namamu di samping nama orang lain.
Aku datang ke pesta itu. Aku melihatmu berdiri di pelaminan. Dan aku tahu… kamu bahagia.
Tapi di balik semua senyumku hari itu, aku menulis satu kalimat malamnya:
> “Aku mencintaimu dalam diam. Dan aku akan terus mencintaimu, bahkan jika dunia melarangku.”
---
[BAGIAN 10 – SURAT YANG TIDAK AKAN KUKIRIM]
Surat ini… adalah warisan dari rasa yang tidak berani lahir.
Aku menyimpannya dalam folder terenkripsi, diberi nama acak, dikunci dengan password yang bahkan aku sendiri bisa lupa.
Karena kadang, bukan hanya perasaan yang perlu disimpan.
Tapi juga rasa malu… dan rasa cinta yang tak boleh hidup.
---
[EPILOG – NARASI TERAKHIR]
Aku tidak menyesal mencintaimu.
Aku hanya menyesal tidak pernah berani mengatakannya.
Tapi mungkin… begitulah cinta kami.
Bukan untuk dipamerkan. Bukan untuk dijalani.
Hanya untuk ditulis.
Dalam surat-surat yang tak akan pernah kukirimkan padamu.
---